Artikel

http://nurul.blog.undip.ac.id/2011/09/23/446/ 

SOCIAL MEDIA AND JOURNALISM

Kemunculan sosial media di Indonesia pada tahun 2008 mengalami perkembangan yagn luar biasa hingga saat ini seiring dengan peningkatan jumlah pengguna smartphone yang juga terus meningkat tajam. Pengaruhnya hampir bisa dirasakan di semua bidang kehidupan manusia karena fungsi sosial media yang menjadi channel komunikasi yang menjadi basis dasar unsur komunikasi selain, sender dan receiver.

Dunia jurnalistik menjadi salah satu bidang yang paling berpengaruh atas kemunculan sosial media ini meski pada banyak kasus banyak yang menganggap bahwa sosial media tidak akan pernah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap praktek jurnalisme mainstream, dalam artian profesi ini akan tetap ada meski berubah secara teknis. Para ahli media baru mengatakan bahwa pengaruh nampak dalam praktik seperti newsgathering, newproducting dan dan newsdistributing.
Dalam sebuah artikel yang dimuat di guardian.uk, direktur BBC Global News Division bernama Richard Sambrook mengatakan bahwa terjadi transformasi dalam praktek jurnalistik dimana jurnalis tidak lagi berperan sebagai gatekeeper informasi, namun berperan dalam sharing informasi. Sharing informasi memungkinkan saat audience yang disebut jurnalis warga (citizen journalist) memiliki kekuatan untuk mengumpulkan, menulis dan melaporkan informasi yang dilakukan melewati blog dan sosial media. Untuk itulah Sambrook mengatakan tidak ada alasan untuk tidak melibatkan jurnalis warga dalam proses peliputan berita.
Di Indonesia, trend kolaborasi antara mainstream media dengan citizen journalist baru bermunculan pada tahun 2010-an, meski keberadaannya sudah muncul sejak tahun 2006, saat stunamy Aceh. Tahun 2011 ini, sosial media menyumbangkan fungsi bagi jurnalis warga untuk menyebarkan informasi dengan cepat, terutama Twitter. Twitter dengan fitur yang simple namun membuka kesempatan jaringan lebih luas dan cepat – dibandingkan dengan facebook yang muncul duluan di Indonesia – lebih condong dimanfaatkan para citizen journalist dalam melaksanakan aktifitasnya. Kemampuan user untuk bisa sharing informasi dengan cepat juga dimanfaatkan newsroom untuk untuk sharing content versi onlinenya.
Pada tahapan newsgathering, sosial media berperan sebagai sumber informasi – meski banyak yang tidak setuju karena keakuratan narasumber seringkali dipertanyakan dan permasalahan hak akan informasi. Di USA sudah muncul apa yang disebut ‘Twitter journalism’ yang dijalankan secara khusus oleh divisi Twitter. Istilah ini untuk menyebut aktivitas jurnalistik yang dilakukan dengan chanel utama Twitter. Dalam konteks ini, jurnalis juga melakukan aktivitas newsgathering dengan bantuan Twitter misalnya saja mencari narasumber dalam suatu peristiwa yang sedang menjadi trading topic di Twitter dan bahkan investigasi menggunakan data-data yang ada di Twitter. Twitter menjadi penting bagi media massa yang ingin dekat dengan audiece untuk mendapatkan informasi di tingkat grassroot dengan cepat, mendapatkan jaringan untuk distribusi informasi di platform media baru serta memanfaatkan Twitter untuk memantau agenda media apa yang sedang diinginkan masyarakat. Dalam artikel berjudul ‘A Report in the Rise, Challenges and Values of Citizen Journalism”, kolumnis The Washington Post bernama John Kelly mengatakan bahwa saat ini persaingan antara The Washington Post dengan Huffington Post bukan fokus pada jurnalismenya namun pada pembacanya. Dalam hal ini keduanya berlomba untuk mendapatkan audience sebanyak mungkin dengan memberikan pelayanan agar audience mendapatkan informasi yang didapat dengan cepat. Menurutnya sosial media tidak hanya penting untuk menghubungkan media dengan citizen journalist, namun juga penting untuk melebarkan jaringan dengan pembaca.
Di Indonesia trend yang terjadi tidak berbeda jauh, terutama penggunaan Twitter untuk pencarian informasi, alat untuk mendistribusikan berita dan channel untuk terhubung dengan para audience-nya. Hampir semua media nasional di Indonesia sudah memiliki account sosial media baik Twitter maupun Facebook untuk mendukung aktivitas jurnalistik. Langkah yang diambil media di Indonesia sangat tepat, mengingat sosial media saat ini sedang menjadi channel populer di masyarakat, sehingga sangat beralasan jika media massa masuk dalam beat channel ini untuk menggaet perhatian audience yang mungkin sebenarnya sibuk dengan jaringan di sosial media mereka. Berdasarkan data dari penelitian Yahoo! Inc di tahun 2011 tentang ‘Perilaku Penggunaan Internet di Indonesia’ yang dimuat di thejakartapost.com, aktivitas penggunaan internet di Indonesia paling banyak digunakan untuk socila networking yaitu 89%, disusul untuk portal sebanyak 72% dan membaca berita di website sebanyak 61%. Penelitian yang dilakukan di 13 kota besar di Indonesia selama 3 bulan dengan 4.482 koresponden ini, juga menemukan bahwa saat ini di area perkotaan di Indonesia, internet sudah menjadi media terbesar kedua setelah televisi, mengalahkan dua platform media lain yaitu surat kabar dan radio. Disini internet user juga mulai mengambil alih audience traditional media dimana pengguna internet sebagian besar berusia 15 – 24 tahun.
Jika diamati di Indonesia, Twitter menjadi jenis sosial media yang berperan dalam distribusi informasi oleh citizen journalit. Dalam peristiwa bencana alam misalnya, saat news value fokus pada aktualitas, Twitter berhasil menyebarkan informasi lebih cepat dan lebih lengkap dibanding dengan maisntream media. Saat gunung Merapi di Yogyakarta meletus misalnya, twiter lebih dominan dalam menyebarkan informasi penting yang mungkin tidak tercover oleh media tradisional. Setiap detik Twitter berbicara tetang detail informasi dari apa yang terjadi di setiap sudut kota Yogykarta, kebutuhan bantuan pengungsi, penemuan mayat, yang sebelumnya tidak mungkin dilakukan oleh jurnalis profesional yang memiliki ‘mata’ terbatas. Sosial media dalam hal ini, akhirnya berfungsi sebagai sumber informasi bagi para jurnalis profesional yang kemudian menseleksinya untuk ditayangkan dan di tulis di medianya. Dalam keadaan seperti inilah konsep kolaborasi antara profesional media dan citizen media dilakukan untuk memproduksi content berita secara bersama-sama.
Keberadaan sosial media juga bisa menjadi pengontrol bagi mainstream media. Jika sebelum ada internet tuntutan audience atas berita adalah objectivity, maka saat ini transparasi informasi juga menjadi tuntutan. Audience telah memiliki channel untuk melakukan konfirmasi, check recheck dan pengkayaan informasi sehingga berita yang disampaikan bisa mendekati kebenaran. Salah satu contoh adalah kasus pertikaian Roy Suryo ‘rebutan’ kursi di sebuah pesawat yang sempat menjadi berita hangat di tradisional media. Dalam perkembangannya, banyak saksi mata yang bersedia berbicara lewat Twitter menberikan kesaksian tentang bagaimana peristiwa itu terjadi sementara Roy Suryo juga ikut memberikan konfirmasi. Hal ini memperlihatkan bahwa audience tidak hanya menuntut transparansi kepada media namun juga kepa da seluruh komponen yang ada dalam berita yaitu narasumber dan saksi mata. Fungsi social media inilah yang diharapkan bisa memberikan sumbangan terbesar bagi praktek jurnalisme di Indonesia.
Penulis: Nurul Hasfi, MA (Staff pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi)